Sebuah pendopo puisi untuk melepas penat, berbagi pikiran, berbagi perasaan atau hanya tempat untuk merenung.
Jumat, 30 Mei 2008
ZIARAH
mengikuti desau angin yang selalu membisikkan sesuatu
aura bintang-bintang tidak segera menentramkan hampa
seperti biasa
Sekelilingku berhasil membaca diri mereka
tapi tidak aku, aku tidak bisa berbahasa
bahkan gerimis tidak mampu meneduhkan jiwa
seperti pertanda
Pada sosok yang tinggal nama
seonggok daging yang tinggal belulang
mereka yang ditinggal ruh, lalu membeku
seperti aku
Senin, 26 Mei 2008
Aku Mau Mati, katanya
Beberapa jam yang lalu aku bicara
pada hatinya yang hampir temaram api
: aku mau mati
berkata ia lebih dari satu kali
Sekilas tampak kulihat
bekas luka akibat terkoyak hampa
Hati itu layu terkurung sendu
hanya merindu, menunggu.
: aku mau mati
katanya lagi
Tak lama dengan wajah tertunduk
dia katakan akan menjelma karang
: aku akan mencoba bertahan
kata-kata itu keluar meyakinkan
Aku mengerti kini mengapa bunga tetap menunggu
walau lebah tidak selalu menghisap madu
:semoga yang hilang datang kembali
dan kau pun menutup cerita dengan lagu sedih air mata
Jumat, 16 Mei 2008
DERMAGA
Ada rasa yang tertinggal
saat ingin melangkah jauh ke depan
hingga menjelma tetesan tanya
yang tumpah dari gumpalan awan resah
Pernah aku tanya pada angin
bagaimana ia bisa sebegitu dingin
angin berkata : "aku hanya potongan puing
dari puzzle kehidupan yang tak perlu kau susun!"
aku jadi enggan bertanya pada angin
Lalu aku bertanya pada dedaun pohon persahabatan
mereka adalah separuh pikiran juga hatiku
mereka senantiasa berbagi tawa dan kecewa
sahabat selalu berkata :
"jangan pernah kau jatuh ke dalam lubang kesepian,
akan ada pohon lain di sana, tapi kami jangan dilupakan"
aku hanya bisa berharap pohon di sana seteduh kalian
Dan diantara ombak merah yang makin menyala
aku melihat sinar putih
pada mereka yang takut Tuhannya
Kali ini, aku tidak bertanya
hanya mengikuti langkah mereka
Saat itulah hatiku berkata : "Bukan ridho manusia, tapi ridho Allah-lah dermaga".
Dan kini ku tau kemana harus melangkah
Sayangnya, kenangan tidak bisa berubah warna.
Rabu, 14 Mei 2008
Mata-Mata
Dalam malam yang bertiup angin
aku menutup mataku dengan kain putih yang tebal dan dingin
berharap mataku bisa memejam dengan sungguh
bungkam dari berpesan kepada benak
tentang hal-hal yang membuatnya kotor
Kini aku mencoba membuka mataku yang lain
dengan perlahan
mata yang hanya bisa terbuka dengan kejujuran
dan telanjang keangkuhan
Dari mata yang kedua aku hanya melihat aku
aku yang melihat tidak hanya wajah
namun tergambar dalam bentuk bayang hitam pekat asap.
Bahkan aku terlintas sebagai sesuatu yang sebenarnya selalu aku hindari
Iblis? Syetan?
mungkin tidak sesempurna mereka
Tapi aku menjadi hampir seperti mereka
Aku melihat aku tersimpul rasa
yang seharusnya tak perlu ada
rasa diri yang melangit hingga membuat lupa
bahwa aku sedang berpijak di penjara bapak, ibu manusia
Adam dan Hawa.
Sungguh aku mengakui aku
karena tidak mungkin aku menolak bahwa itu aku
ya karena selama ini aku tidak pernah melihatnya
dengan mata pertamaku
Mata yang sedang kututup
dengan kain putih yang tebal dan dingin
Mata yang saat ini merinaikan bulir-bulir penyesalan.